Pemerintah Beri Subsidi Besar BBM dan LPG agar Harga Tetap Terjangkau

NAGA303, Jakarta Subsidi besar untuk dua jenis bahan bakar minyak (BBM), yaitu Solar dan Pertalite serta LPG 3 kg oleh pemerintah, adalah agar harga komoditas tersebut tetap terjangkau. Selama ini produk tersebut memang ditujukan untuk konsumen masyarakat bawah.

Pengamat Energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan harga jual Solar dan belakangan Pertalite yang menjadi BBM penugasan serta LPG 3 kg merupakan domain pemerintah.

“Untuk Pertalite kemungkinan pertimbangan karena volumenya cukup besar jadi ada kehati-hatian dari Pemerintah untuk menaikkan harganya,” kata dia melansir Antara di Jakarta, Sabtu (9/4/2022).

Subsidi Solar sebesar Rp 7.800 per liter dari harga beli masyarakat sebesar Rp 5.150 per liter, subsidi Pertalite Rp 4.000-Rp 4.500 per liter dari harga yang diterima konsumen Rp 7.650 per liter.

Sedangkan subsidi LPG 3 kg sebesar Rp 12.450 per kg atau Rp 33.750 per tabung dari harga yang diterima konsumen sebesar Rp 20 ribuan per tabung.

Komaidi menegaskan harga jual Solar, Pertalite dan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah masih di bawah harga keekonomian. 

Harga keekonomian BBM pada tiap-tiap negara bisa berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pada biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, margin usaha, dan pajak BBM pada masing-masing negara.

Harga keekonomian BBM adalah harga jual BBM yang telah mengakomodasi semua variabel pembentuk harga

Variabel Pembentuk Harga BBM

Adapun variabel pembentuk harga jual BBM adalah biaya bahan baku, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, margin usaha, dan pajak.

“Kenapa, misalnya, harga BBM di Malaysia lebih murah dibandingkan Indonesia, karena subsidi yang diberikan pemerintah terhadap warganya juga berbeda,” ujarnya.

Berdasarkan data, harga BBM di Indonesia termasuk sebagai salah satu yang termurah di regional. Harga BBM Indonesia hanya tercatat lebih tinggi dibandingkan Malaysia karena pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan subsidi untuk BBM yang dijual di dalam negeri mereka.

“Untuk RON 95, Malaysia menetapkan Rp 6.965 per liter. Indonesia setara Rp 16.500, lebih murah ketimbang Singapura Rp 30.208, Thailand Rp 19.767 per liter, Filipina Rp 20.828 per liter, Vietnam Rp 18.647 per liter, dan Kamboja Rp 20.521 per liter,” katanya.

Harga BBM Indonesia menggunakan rujukan Permen ESDM No.20/2021 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Harga BBM RON 92 (jenis BBM umum) dihitung menggunakan formula biaya perolehan (bahan baku & pengolahan) + biaya distribusi + biaya penyimpanan +margin usaha + PPN + PBBKB.

“Berdasarkan formulasi tersebut harga keekonomian BBM RON 92 saat ini berada pada kisaran Rp15.000 – Rp17.000 per liter,” ujarnya.

Namun, Pertamina menetapkan harga jual BBM RON 92 atau Pertamax per 1 April 2022 sebesar Rp 12.500 setelah hampir tiga tahun lamanya tidak mengalami penyesuaian.

Kenaikan tersebut dipengaruhi sejumlah faktor, terutama harga minyak mentah dunia dan kurs dolar AS terhadap mata uang rupiah serta daya beli masyarakat.

Padahal, beberapa pesaing Pertamina berkali-kali menaikkan harga, termasuk terakhir pada pertengahan pekan ini.

Hingga akhir pekan ini, Pertamax adalah satu-satunya BBM RON 92 paling murah harganya. Sementara badan usaha lain kembali menaikkan harga BBM RON tersebut.

Vivo misalnya, menaikkan Revvo 92 (RON) 92 menjadi Rp12.900 dan BP 92 (RON 92) yang dijual di SPBU BP-AKR Rp12.990. Adapun V-Power (RON 92) Shell dijual Rp16.500 per liter.

Dampak Kenaikan

Analis Komoditas yang juga Direktur Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee mengatakan wajar bahwa harga BBM termasuk juga LPG, saat ini dalam tren naik karena kedua komoditas tersebut mengalami gangguan pasokan akibat geopolitik global.

Sebagian besar kenaikan akhir-akhir ini karena perang di Ukraina di mana negara anggota NATO mengurangi pembelian gas dan minyak Rusia dan mencari sumber lain.

Hans mengapresiasi sikap pemerintah dan Pertamina yang tidak menaikkan harga Biosolar, Pertalite, dan LPG 3 kg.

Pasalnya, ketiga komoditas tersebut dikonsumsi masyarakat kelas menegah ke bawah dan dipakai untuk transpostasi publik dan barang dan jasa.

“Bila tiga komponen ini naik, inflasi akan naik tinggi dan daya beli masyarakat kelas menegah ke bawah akan sangat terganggu,” ujarnya.