Manfaat Metode Montessori dalam Terapi untuk Anak Autis dan Down Syndrome

 Metode Montessori adalah suatu metode pendidikan yang cocok diterapkan pada anak usia pra sekolah. Metode ini dapat dikolaborasikan dengan terapi untuk anak dengan autisme atau down syndrome.

Hal ini diungkap oleh Naomi Novita, seorang terapis anak berkebutuhan khusus asal Tangerang Selatan. Menurutnya, metode Montessori sangat baik digunakan pada anak autis atau down syndrome sedini mungkin.

“Metode ini mencakup cara membaca, menulis, dan praktik kehidupan sehari-hari,” kata Naomi saat ditemui di Ciputat, Tangerang Selatan, (4/3/2020).

Sebelum belajar menulis, anak sebaiknya diajarkan untuk membuat pola misalnya titik-titik, garis pagar, dan zigzag, tambah Naomi. Mereka akan kesulitan jika langsung diajarkan menulis alfabet.

Ketika masuk ke penulisan alfabet, penulisannya pun tidak bisa  sembarangan. Penulisan ini harus diawali dari arah dan gerakan yang sama. 

“Anak usia 3 sampai 4 tahun akan kesulitan membedakan huruf ‘b’ dan ‘d’. Untuk membedakannya, awali penulisan huruf ‘b’ dari atas ke bawah dan huruf ‘d’ diawali dengan setengah lingkaran.

Setelah dapat menulis, anak kemudian diajarkan cara mengeja yang mudah. “Metode Montessori mengajarkan pengejaan fonetik. Bunyi huruf dilafalkan sesuai dengan bunyi kata.”

Misal ejaan “A B C” normalnya “ei bi si”, dalam fonetik cara mengejanya adalah “eh beh keh”. Contohnya dalam penulisan kata “Cat” yang dieja “si ei ti” maka dibacanya “Set”. Sedang, jika diejanya “keh eh te” maka dibacanya “Ket”.

Praktik Sehari-Hari

Naomi Novita

Tidak hanya mengajarkan membaca dan menulis. Metode Montessori juga mengajarkan praktik sehari-hari. Hal ini dilakukan untuk melatih motorik halus dan motorik kasar anak dengan kebutuhan khusus.

“Misal, saya mengajarkan mereka untuk memindahkan beras dari satu tempat ke tempat lainnya. Saya mengajarkan ini sejak anak berusia 2 tahun,” kata Naomi.

Pelatihan ini berkembang dari tingkat kesulitan mudah, menengah, hingga sulit. Contohnya, awalnya anak diminta menggambar di papan tulis besar dengan spidol besar, lama kelamaan ia berpindah ke buku gambar dengan spidol yang lebih kecil, kemudian berpindah lagi ke buku yang lebih kecil dengan menggunakan pensil.

Contoh lainnya, pelatihan membawa nampan dengan gelas plastik, kemudian gelasnya diganti jadi melamin, kemudian jadi gelas kaca, tingkat selanjutnya gelas diisi air. Ini dapat melatih keseimbangan dan otot anak. 

Pandangan Tak Fokus dan Menyukai Warna Terang Ciri Awal Anak Sandang Autisme

Naomi Novita

Berbeda dengan anak down syndrome, anak autis cenderung tidak bisa didiagnosis sejak lahir. Anak autis biasanya memiliki fisik dan wajah yang normal.

Hal ini diungkap oleh Naomi Novita, seorang terapis anak down syndrome dan autis. Menurutnya, penanganan sejak dini perlu dilakukan guna meredam dampak autis yang bisa terbawa hingga dewasa dan tak terkendali.

“Penanganan sangat baik dilakukan sejak usia satu tahun. Jika sudah di atas sembilan atau 10 tahun akan sulit,” kata Naomi ketika ditemui di Tangerang Selatan, (4/3/2020).

Ada beberapa gejala yang menandakan bahwa anak berpotensi menyandang autis. Di usia satu tahun, perilaku anak mulai bisa terlihat.

Anak autis cenderung menyukai warna-warna terang, kata Naomi. Mereka juga biasanya menyukai benda berputar.

“Kalau diberi gadget mereka akan fokus pada gadget tersebut. Biasanya hanya pada satu tayangan atau karakter tertentu.”

Biasanya anak dengan autis hanya melihat tayangan tersebut tanpa berbicara sedikit pun. Mereka juga cenderung tidak memperhatikan orang lain dan sibuk dengan dunianya sendiri.

Ciri Lain

Ciri lainnya, ketika dipanggil anak autis tidak akan menengok ke sumber suara dan tidak akan menjawab.

“Sebaiknya, ketika anak autis diberikan gadget dan menonton sesuatu, mereka tetap harus diajak bicara agar merangsang kemampuan bicaranya.”

Orangtua juga bisa melihat cirri-ciri awal dari anak yang menyandang autis dengan melihat ketakutan yang tidak biasa. Mereka acap kali takut pada berbagai hal umum.

Misal, benda bergerak seperti robot-robotan, sikat, keset, dan benda sederhana lainnya. Ketakutan dapat dicap sebagai hal yang tidak biasa ketika mereka merasa takut secara terus-menerus.

“Kalau anak biasa takut sama mainan baru biasanya di kali kedua atau ketiga mereka menjadi terbiasa dan rasa takutnya hilang. Kalau anak autis rasa takutnya terus-menerus dan dapat berakhir dengan trauma.”

Saat beranjak ke usia 2 sampai 3 tahun, ciri lain yang dapat terjadi adalah cara berjalan jinjit. Pandangan mata cenderung tidak fokus dan tidak bisa diajak bicara.