Ada Virus Corona, Perlukah Indonesia Liburkan Sekolah Seperti Jepang?


Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Selasa (4/2/2020). Jokowi menegaskan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas dalam mencegah penyebaran virus corona di Indonesia.

Indonesia sudah resmi mencatat ada pasien positif Virus Corona COVID-19 yang berasal dari Depok. Pemerintah mengaku sudah menerapkan langkah-langkah untuk mencegah penyebaran lebih luas.

Indonesia sebetulnya termasuk negara yang belakangan terkena Virus Corona, sementara negara-negara tetangga sudah melaporkan ada Virus Corona sejak dua bulan lalu. Oleh karenanya, Indonesia bisa belajar dari negara tetangga mengenai penanganan ideal.

Salah satu contoh penanganan Virus Corona adalah meliburkan sekolah seperti di Jepang dan Korea Selatan, serta pembatasan travel di beberapa negara. Pakar menyebut solusi itu potensial, tetapi belum urgent. Yang penting dilakukan adalah edukasi dan disinfeksi tempat-tempat rawan.

“Ada beberapa kebijakan seperti travel restriction, meliburkan ataupun menutup sementara public places, tapi ini belum begitu darurat untuk dilakukan. Yang lebih diutamakan mungkin mengedukasi masyarakat terlebih dahulu tentang COVID-19,” ujar peneliti mikrobiologi LIPI Sugiyono, Selasa (3/3/2020).

Negara lain seperti China, Singapura, dan Korea Selatan, memiliki kebijakan untuk melakukan tes VIrus Corona dalam skala besar. Apakah itu perlu dilakukan di Indonesia?

Profesor Amin Soebandrio dari Eijkman Institute berkata pemeriksaan seperti itu tidak cocok di Indonesia.

“(Pemeriksaan) Secara random terbuka saya rasa tidak. Artinya, kita bukan negara tertular yang seluruh negara kena, baru satu daerah tertentu, jadi beda situasinya dengan China,” ucap Amin Soebandrio.

Rekomendasi yang Profesor Amin berikan adalah pemeriksaan secara terarah kepada pasien yang memiliki gejala-gejala Virus Corona, meskipun orang itu tak punya riwayat kontak dengan penderita Virus Corona.

Pasalnya, ada kasus Virus Corona yang tak punya riwayat kontak dengan penderita di Amerika Serikat (AS). Itu membuat otoritas kesehatan AS, yakni Centers for Disease Control and Prevention (CDC), untuk meneliti lagi kriteria suspect virus ini.

“Itu sudah terbukti terjadi di AS, ada beberapa kasus yang menunjukan gejala tapi sama sekali tidak ada riwayat kontak dan teryata positif sehingga CDC mempertimbangkan kriteria suspect,” jelas Amin.

Singapura Bagus karena Tegas

Singapura

Profesor Amin turut menyebut sisi positif dari cara Singapura menangani Virus Corona. Ketegasan pemerintah ternyata adalah kunci, pasalnya Singapura siang memberi hukuman bagi para suspect Virus Corona yang tak patuh instruksi karantina.

“Mereka sangat strict,” ucap Amin. “Contohnya, kalau ada orang dalam status pemantauan, di mana mereka keluar rumah, itu sampai ketahuan ke luar rumah, itu bisa dicabut permanent residentnya. Jadi betul-betul hukum ditegakan sehingga orang tentu ada rasa takut tapi itu penting untuk memastikan tak ada penularan,” ia menjelaskan.

Masalahnya, kebijakan Singapura tidak mudah diterapkan di negara lain atau Indonesia. Hukuman terhadap status kependudukan berpotensi dianggap melanggar HAM.

Profesor Amin sendiri tak mendukung ide karantina di satu tempat. Self-quarantine dianggap lebih tepat jika ada orang yang punya riwayat kontak dengan penderita Virus Corona. Selain itu, lebih baik memanggil dokter ke rumah ketimbang pergi sendiri karena berpotensi menularkan.

“Kalau sakit lebih baik panggil petugasnya ke rumah, ketimbang datang ke rumah sakit malah menyebarkan ke pasien-pasien lain,” ucapnya.