Ancaman Hukuman Mati bagi Penebang Hutan hingga Koruptor di Masa Majapahit

NAGA303– Aturan hukum ketat dan tegas konon diterapkan semasa Kerajaan Majapahit. Salah satu aturan hukum itu bahkan juga mengatur kehidupan sehari-hari bersosialisasi di masyarakat, di antaranya hukuman korupsi.

Koruptor atau tindakan korupsi dengan mengurangi penghasilan makanan, mempersempit sawah, hingga membiarkannya sengaja terbengkalai, tidak dimanfaatkan, padahal sudah dikuasakan untuk mengolah masuk kategori korupsi. Ancamannya pun tidak main-main yakni dikenakan hukuman mati.

Hukum itu diatur dalam bab tanah pada tiga pasal yakni Pasal 258, 259, dan 261. Hal ini pula dijabarkan oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama, sebagaimana dikutip dari buku “Tafsir Sejarah Nagarakertagama” karangan Prof. Slamet Muljana..

Pada Kakawin Nagarakertagama disebutkan, jika ada seseorang yang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga, bendungan, hingga kolam ikan, yang bukan miliknya tanpa disuruh oleh pemilik aslinya. Orang itu tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Namun jika ia mendapat keuntungan perbaikan itu, pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan. Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.

Barang siapa meminta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga sawah itu terbengkalai, supaya dituntut untuk membayar utang makan, sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakannya itu. Besar dendanya ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengerusak makanan.

Selain itu siapapun orangnya yang mengurangi penghasilan makanan atau mengkorupsi misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai segala apa yang dapat menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan apapun, lantas diketahui oleh orang banyak. Orang itu disebut bisa diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati, sebagaimana dicantumkan pada Pasal 261.

Perampasan atau mengambil harta benda milik orang lain tanpa hak juga jadi perhatian hukum di Kerajaan Majapahit. Hukum ini diatur pada bab sahasa atau paksaan sebagaimana diatur pada Pasal 86, 87, dan 92.

Disebutkan jika seseorang mengambil milik orang tanpa hak, maka barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam waktu enam bulan diperingatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun.

Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak ini akan turut hilang. Tercantum pada tafsir Negarakertagama ajaran sastra, jangan sekali-kali mengambil uang secara haram sebagaimana diatur pada Pasal 86. Tetapi di sini tidak disebutkan detail hilangnya itu apakah disita negara dalam hal ini pemerintahan Majapahit atau kutukan dicuri orang kembali.

Berikutnya, barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas harta orang lain didenda dua laksa pula. Denda itu diputuskan raja yang berkuasa.

Selanjutnya sebagaimana tercantum pada Pasal 87, pendapatan dari kerbau, sapi, dan segalanya yang dirampas terutama harta akan dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat.

Terakhir aturan di Pasal 92 disebutkan jika seseorang menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa dan pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.